google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: WAKAF TUNAI

Monday 3 November 2014

WAKAF TUNAI


A.    PENDAHULUAN
Wakaf bukanlah sesuatu yang asing bagi umat Islam karena eksistensinya bisa dikatakan hampir bersamaan dengan eksistensi Islam dan umat Islam itu sendiri. Masih segar dalam ingatan umat Islam, bahwa ketika Rasulullah, pembawa risalah Islam, berhijrah dari Makkah menuju Madinah dan sesampainya di Madinah beliau memperkenalkan wakaf kepada kaum Muslimin, di mana pada masa itu kaum asli Madinah yang bernama kaum Najja mendapatkan tawaran dari Rasulullah, untuk mewakafkan tanahnya karena ketika itu beliau memerlukan tanah untuk pembangunan masjid. Baliau mengatakan:”Wahai Bani Najja, maukah kalian menjual kebun kalian ini?” Mereka menjawab:”(Ya!, tapi), demi Allah, kami tidak akan meminta harganya, kecuali mengharapkan pahala dari Allah.” Kemudian beliau mengambilnya, lalu membangun masjid di atasnya.” Dari sinilah, lalu menjadi tradisi umat Islam mewakafkan tanah-tanah miliknya untuk keperluan pembangunan masjid dan kepentingan umum lainnya.[1]
Selama ini sebagian umat Islam telah terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap (tidak bergerak) seperti tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang tidak tetap (bergerak) tidak begitu terbiasa. Hal tersebut tidak terlepas dari pemahaman tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap seperti tanah dari pada benda lainnya yang bergerak. Keafdholan tersebut ditopang atas alasan antara lain, karena yang dicontohkan Rasulullah adalah wakaf tanah dan karena tanah merupakan harta benda yang bisa dibilang kekal sifatnya atau tidak gampang musnah, meskipun bisa musnah. Sedang untuk wakaf berupa benda lainnya tidaklah seperti demikian keadannya.
 Namun pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang di dalamnya menentukan bahwa benda yang dapat diwakafkan tidak saja benda tetap (tidak bergerak) tetapi terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Di antara benda yang bergerak yang dapat diwakafkan adalah wakaf tunai (wakaf uang). Wakaf jenis ini telah diintroduser oleh Prof. Dr. A. Mannan, Ketua Social Invesment Bank Ltd. Dhaka, Bangladeh, seorang ekonom yang terkemuka dan cendekiawan Muslim yang sejak lama dikenal memiliki komitmen yang jelas terhadap sistem ekonomi Islam.
Apakah sebenarnya wakaf tunai itu? bagaimanakah tata cara mewakafkannya? Bolehkah wakaf tunai itu menurut pandangan hukum Islam? Melalui makalah ini penulis mencoba untuk menelusurinya melalui sumber bacaan yang ada.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Wakaf Tunai
Secara bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa” (berhenti) atau “waqfun” (terhenti). Kata ini terkandung maksud, bahwa harta benda yang telah diwakafkan adalah berhenti, tidak boleh dipindahkan. Baik dipindahkan dengan cara memberikan kepada orang lain (hibah), dengan cara menjual, dengan cara mewariskan, atau dengan bentuk-bentuk perpindahan lainnya. Atau, berarti “Habasa” (menahan) atau “habsun” (tertahan). Dari kata ini terkandung maksud sama seperti yang terkandung dalam kata waqaf, bahwa harta benda yang telah diwakafkan itu keadaannya tertahan atau ditahan. Maksudnya, tidak boleh dipindahtangankan, baik dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan atau lainnya[2].
Menurut istilah, wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Demikian Sayid Sabiq mendefinisikannya dalam kitabnya Fiqhussunnah: 14 : 148. Para ahli hukum Islam lainnya, hampir sama dengan Sayid Sabiq dalam medefinisikan wakaf tersebut. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang menyatakan wakaf adalah menahan benda dan memberikan hasilnya. Golongan Malikiyah menyatakan, wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik manfaat tersebut berupa sewa atau hasilnya, untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang mewakafkan (wakif). Sementara jumhur ulama mendefinisikan wakaf, dengan menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang.
Dari beberapa definisi tersebut dapat difahami bahwa wakaf adalah memberikan manfaat benda kepada pihak lain, baik perorangan atau umum, di mana bendanya tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain.
Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya. Dalam pengertian yang lain, wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya.
Jadi Wakaf tunai atau kadang disebut dengan wakaf uang adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf 'alaih (penerima wakaf).
2.      Landasan Hukum Wakaf Tunai
Sistem wakaf merupakan konsep yang tidak secara jelas dan tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Bebeda dengan zakat yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Kendatipun demikian, dalam beberapa ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik untuk kebaikan masyarakat, dipandang oleh para ahli sebagai landasan perewakafan.[3]
Sebagaimana kita ketahui bahwa wakaf tunai dalam era kini terkesan sangat baru, sehingga membutuhkan sosialisasi yang sangat mendasar terhadap pemahaman masyarakat tentang wakaf tunai tersebut. Pemahaman atau paradigma masyarakat ialah tentang landasan hukum wakaf yang selama ini hanya dipahami sebagai benda yang tetap atau tidak bergerak. Para ulama mengemukakan beberapa ayat yang sifatnya umum yang dijadikan landasan hukum wakaf, antaranya ialah :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ 
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah: 267).
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92).
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:
اد قطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صا لح يدعواله
Artinya:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga; shadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Para ulama menafsirkan kata-kata shadaqah jariah yang akan terus mengalir pahalanya dalam hadist tersebut dengan wakaf. Nash nash diatas merupakan nash yang jelas yang secara khusus dijadikan landasan utama adanya syari'ah wakaf.
3.      Pengelolaan Wakaf Tunai
Sejak awal harus disadari bahwa wakaf, tidak terkecuali wakaf tunai merupakan dana publik. Wakaf tunai akan mempermudah masyarakat atau wakif dalam mewakafkan hartanya karena wakif tidak memerlukan dana yang besar untuk mewakafkan sebagian hartanya. Karena dana wakaf dihimpun dari masyarakat luas yang dengan sukarela menyisihkan hartanya untuk diwakafkan, maka Wakaf seyogyanya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas pula. Agar pemanfaatan wakaf untuk kepentingan luas menjadi maksimal, pengelolaannya harus dilakukan secara professional, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. Ketiga syarat ini tidak bisa ditawar lagi dalam pengelolaan wakaf, lebih-lebih wakaf tunai.
Untuk menjamin ketiga syarat pengelolan tersebut, maka lembaga wakaf tunai seyogyanya memenuhi syarat sebagai berikut: [4]
a)      Memiliki akses yang baik kepada calon wakif
b)      Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf
c)      Mampu untuk mendistribusikan hasil atau keuntungan dari investasi dana wakaf
d)     Memiliki kemampuan untuk mencatat atau membukukan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat yang diberi wakaf, dan peruntukan wakaf tersebut.
e)      Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya oleh masyarakat dan kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pengelola dana publik.
Oleh karena itu Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak yaitu pemberi wakaf (wakif), Pengelola wakaf (Nazhir) yang dalam hal ini berupa lembaga keuangan Islam, yang nantinya juga bertindak sebagai manajer investasi, dan beneficiary (masyarakat yang diberi wakaf).
1.      Wakif
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Dengan adanya wakaf tunai seorang wakif tidak lagi memerlukan jumlah uang yang besar untuk dibelikan tanah atau bangunan guna diwakafkan. Karena wakaf uang jumlahnya bisa lebih bervariasi, sehingga orang yang memiliki dana terbatas sudah bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi konglomerat terlebih dahulu. Dalam hal ini masyarakat dapat memberikan wakaf dalam bentuk uang tunai dimana uang tersebut dapat dikumpulkan terlebih dahulu oleh seorang pengelola untuk kemudian diinvestasikan, dan benefit atas investasi tersebut dapat didistribusikan kepada yang membutuhkannya. Untuk menjamin dana wakaf tunai tersebut dikelola dengan baik maka wakif mempunyai hak-hak seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang RI No.8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen yaitu : [5]
a)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
b)      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
c)      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak yang ketiga ini penting terutama bagi mereka yang ingin mewakafkan hartanya akan tetapi tidak mengetahui teknisnya.
2.      Nazhir
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa wakaf tunai atau wakaf uang harus dikelola secara profesional dan melalui lembaga-lembaga yang kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf tunai adalah lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Belakangan banyak tumbuh lembaga-lembaga keuangan semisal bank syari’ah seperti asuransi syari’ah, atau lembaga pembiayaan syari’ah lainnya. Dalam pembahasan ini lembaga yang menjadi nazhir wakaf tunai adalah bank syari’ah.
Di sisi ketentuan perbankan, yaitu SK Dir. BI No.32/34/KEP/DIR tentang bank umum berdasarkan prinsip syari’ah, kegiatan usaha bank yang terkait dengan masalah wakaf adalah sebagaimana yang tertera dalam pasal 29 ayat 2 SK Direktur Bank Indonesia tersebut dimana “Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan)
Dari ketentuan di atas dapat dilihat bahwa secara umum bank syari’ah dapat mengambil peran sebagai penerima dan penyalur dana wakaf. Wewenang pengelolaan ini dipandang penting karena berbeda dengan dana sosial lainnya, seperti zakat, infak atau shadaqah, dana wakaf tidak dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan harus dikelola terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya baru dibagikan kepada yang berhak.
Di sisi lain, dalam SK Dir. BI No.32/34/KEP/DIR tentang bank umum berdasarkan prinsip syari’ah, pasal 28 huruf m disebutkan bahwa “bank dalam melakukan kegiatan usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syari’ah Nasional”
Secara regulatif, bank syari’ah merupakan lembaga yang “Syari’ah high Regulated” dengan dipantau oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Pemantauan yang dilakukan DSN dan DPS berkaitan dengan apakah operasional dan produk bank syari’ah sudah seiring dengan ketentuan syari’ah atau tidak.
4.      Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam
Setelah membicarakan panjang lebar tentang pengertian wakaf dan rukun serta syarat-syaratnya, maka tibalah saatnya membicarakan tentang wakaf tunai dalam perspektif hukum Islam. [6]
Mengenai hukum wakaf uang (wakaf tunai) ini, para ulama hukum Islam berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Adapun alasan yang tidak membolehkan adalah sebagai berikut:
·         Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakannya, sehingga bendanya lenyap. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
·         Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.
Adapun alasan ulama yang membolehkan wakaf uang adalah seperti diuraikan dalam kutipan berikut ini:[7]
Dalam kitab al-Is’af fi Ahkamil Awqaf, Ath-Tharablis menyatakan:”Sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan, dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh adalah karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana tunai dirham?” Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan :”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.”
Di kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang kontan, seperti dilihat dalam kitab Al Majmu’ oleh Imam Nawawi (15/325) yang mengatakan: dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak membolehkan mempersewakannya tidak membolehkan mewakafkannya. “Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).
Sebagian ulama dari kalangan Syafii membolehkan wakaf tunai. Dalam kitab al-Hawil Kabir, al-Mawardi menyatakan diriwayatkan dari Abu Tsaur dari Imam as-Syafi’i tentang bolehnya wakaf dinar dan dirham (uang).
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan kepada hadits Ibnu Umar. Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf,yaitu:[8]
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”
Apabila memperhatikan definisi wakaf, yang diberikan oleh para ulama hukum Islam, di mana wakaf didefinisikan sebagai menahan bendanya dan memberikan manfaatnya ke arah kebaikan, baik perorangan atau kepentingan umum, dan memperhatikan tata cara mewakafkan dan pengelolaannya, maka ternyata dzat uang wakaf tetap tersimpan di dalam Bank Penerima Wakaf Uang sebagai nadzir. Uang wakaf tersebut dikelola oleh Bank tersebut dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Dari pengelolaan tersebut diperoleh keuntungan. Dan dari keuntungan itu dipergunakan pendanaan atau pembiyaan-pembiyaan berbagai keperluan umat Islam. Dari kenyataan tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa wakaf tunai telah memenuhi pengertian wakaf dan tujuan dari wakaf secara umum. Karenanya, pendapat-pendapat tentang kebolehan wakaf tunai sebagai diuraikan di atas dapat dipertahankan dan dapat dijadikan pijakan tentang bolehnya Wakaf Tunai.
5.      Tata Cara Wakaf Tunai
Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa wakaf tunai merupakan terobosan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu pasal 28 sampai pasal 31, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:[9]
·         Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
·         Wakaf benda bergerak berupa uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.
·         Wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
·         Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
·         Lembaga keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkan sertifikat wakaf uang.
Dari berbagai ketentuan di atas, tata cara perwakafan tunai kiranya dapat dikonstruksi sebagai berikut:
·         Wakaf uang (tunai) yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
·         Karenanya wakaf uang yang berupa mata uang asing, harus dikonversi lebih dulu ke dalam rupiah.
·         Wakif yang akan mewakafkan uangnya wajib hadir di Lembaga Keuangan Syariah Wakaf Uang (sebagai nazhir) yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama berdasarkan saran dan pertimbangan dari Badan Wakaf Indonesia, untuk:
o   Menyatakan kehendaknya, yaitu mewakafkan uangnya;
o   Menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;
o   Menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke lembaga keuangan syariah tersebut;
o   Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf.
·         Dalam hal wakif tidak dapat hadir, maka wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
·         Wakif juga dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan), yang selanjutnya nazhir menyerhakan akta ikrar wakaf tersebut kepada Lembaga Keuangan Syariah.
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh suatu Lembaga Keuangan Syariah untuk menjadi Penerima Wakaf Uang adalah sebagai berikut:[10]
·         Memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia
·         Bergerak di bidang keuangan syariah;
·         Memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah).
·         Lembaga Keuangan Syariah mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Agama dengan melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum.
·         Mengajukan permohonan menjadi Lembaga Keuangan Syariah
·         Penerima Wakaf Uang secara tertulis kepada Menteri Agama dengan melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum.
Kemudian Menteri paling lambat dalam waktu tujuh hari menunjuk lembaga keuangan syariah atau menolak permohonan tersebut sebagai penerima wakaf uang.
Lalu Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk: (1) mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (2) menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang (3) menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama nazhir (4) menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nazhir yanmg ditunjuk wakif (5) menerima pernyataan kehendak wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak wakif (6) menerbitkan sertifikat wakaf uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada nazhir yang ditunjuk oleh wakif (7) mendaftarkan wakaf uang tersebut kepada Menteri Agama atas nama nazhir.
Sedang isi sertifikat wakaf uang sekurang-kurangnya harus memuat keterangan mengenai: (a) nama Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf (b) nama wakif (c) alamat wakif (d) jumlah wakaf uang (e) peruntukan wakaf (f) jangka waktu wakaf (g) nama nadzir yang ditunjuk (h) tempat dan tanggal penerbitan sertifikat wakaf uang.
Bagi wakif yang berkehendak melakukan wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang tersebut kepada wakif atau ahli warisnya/penerus haknya melalui lembaga keuangan syariah penerima wakaf tunai.
C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
·         Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
·         Wakaf tunai dapat dilakukan di Lembaga Keuangan Syariah yang telah menerima penunjukan dari Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang (sebagai nazhir) dan dapat juga dilakukan di Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang untuk selenjutnya diserahkan kepada Lembaga Keuangan syariah Penerima Wakaf Tunai yang ditunjuk.
·         Menurut hukum Islam wakaf tunai diperbolehkan, sekalipun ada juga ahli hukum Islam lainnya yang menolak. Namun pendapat yang membolehkan lebih dapat diterima oleh perkembangan kepentingan umat Islam.
2.      Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan tentang Wakaf Tunai, kami menyadari bahwa dalam makalah kami masih banyak terdapat kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.










D.    DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, Mohamad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press,                1988.
Ibn Manzur,  Lisan al-‘Arab,  Beirut: Dar Sadr, 1990.
Mannan, M.A. Sertifikasi Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan          Islam, Depok: CIBER – PKYII UI, 2001.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundit Aksara, 2007.
Sariman, Wakaf Tunai dalam Prespektif Hukum Islamhttp://pabangil.pta- surabaya.go.id/
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakrta: EKOHISIA,            2008.



[1] Sariman, Wakaf Tunai dalam Prespektif Hukum Islam,  http://pabangil.pta-surabaya.go.id/
[2] Ibn Manzur,  Lisan al-‘Arab,  (Beirut: Dar Sadr, 1990), hal. 359.
[3] Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), hal. 80
[4] M.A. Mannan, Sertifikasi Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, (Depok: CIBER – PKYII UI, 200), hal. 37
[5] Ibid, hal. 39
[6] Sariman, Wakaf Tunai dalam Prespektif Hukum Islam,  http://pabangil.pta-surabaya.go.id/
[7] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundit Aksara, 2007), hal 96
[8] Ibid. hal. 97
[9] Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi. . . , hal. 83
[10] Heri Sudarsono,  Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakrta: EKOHISIA, 2008),  hal. 285.